Tak Takut jagat ini Meledak, Aku masih Punya Sajak dalam Rujak!" Demikian lantang Dyah Setyowati, sastrawati asal Tegal, menyuarakan keteguhan hatinya menjalani hidup sebagai penulis puisi.
Bagi Diah, menulis puisi bukanlah sekadar mainan kata, melainkan sebuah pilihan hidup yang penuh konsekuensi.
Baca Juga : https://azkadinaku.blogspot.com/2025/06/100-persen-terbentuk-kopdes-merah-putih.html
Dalam pernyataannya, yang disampaikan melalui akun Whatsapp pada Rabu ( 30/07/2025 ) Dyah mengungkapkan kedisiplinan dan keseriusannya berkesenian.
"Saya menulis puisi setiap hari selain menggunakan bahasa Indonesia juga menggunakan bahasa Ibu, Tegal. Saya bukan memainkan kata, tapi. Melaksanakan kata kata sebagai tindakan dan konsekwensi saya memilih hidup sebagai seniman," tegasnya.
Keberpihakan pada nilai seni yang tinggi juga ia pegang teguh. Ia menyatakan dengan jelas bahwa puisinya tidak bisa diperjualbelikan secara sembarangan. "Puisi saya memang tidak bisa ditukar jadi rupiah, dibukukan pun jika bukan penerbit berkelas saya tak mau!" ujarnya. Bahkan, bagi Dyah, apresiasi terhadap karyanya pun memiliki "hukum" tersendiri: "Setiap puisi dibacakan para pendengarnya wajib bayar. Itu hukum orang mengapresiasi puisi."
Untuk menjaga kemandirian dan kebebasan berekspresinya, Dyah Setyowati memilih jalur swadaya. Ia mendirikan dan memimpin sendiri Sanggar Seni "Asah Manah". "Dan agar saya tidak bergantung pada lembaga kesenian apapun saya memilih jadi ketua komunitas dan pemilik sanggar seni 'Asah Manah' saya membiayai sendiri kesenian saya selama berpuluh tahun," jelasnya.
Baca Juga : https://azkadinaku.blogspot.com/2025/06/kebangkitan-fenomenal-bulutangkis-eropa.html
Ketika dukungan pemerintah dirasa kurang untuk sanggarnya, Dyah dan komunitasnya memilih sikap pasrah namun tak menyerah. "Kalau pemerintah tak peduli dengan sanggar kami, kami pasrahkan pada Tuhan," katanya. Pasrahnya bukan tanpa usaha. Buktinya, ia mendapatkan solusi kreatif untuk bertahan: sebuah kesempatan berjualan rujak kangkung di Galeri Budaya Brigif 4 Dewarantna, Slawi.
Lapak rujak kangkung itulah yang menjadi simbol perjuangannya, sekaligus mewujudkan metafora "sajak dalam rujak" yang ia gaungkan. Lapak itu ia beri nama yang sarat makna: **"Ada Sajak Dalam Rujak"**. Rujak kangkung bukan sekadar sumber nafkah, tapi juga menjadi metafora nyata bagi perpaduan kerasnya kehidupan dan keindahan puisi yang ia jalani – sebuah perjuangan mandiri sastrawati Tegal yang memilih menghidupi seninya dengan caranya sendiri, mencampurkan kata-kata dengan bumbu rujak, di tengah ketidakpastian dukungan. ( *** )
Beri komentar dengan bijak